HAKEKAT MANUSIA MENURUT SOREN AABYE KIERGAARD (1813-1855)
Sejarah Singkat Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) adalah
seorang filsuf dan teolog abad ke 19 yang berasal dari Denmark. Hidup singkat
Kierkegaard dimulai dan diakhiri di Danish city of Copenhagen. Lahir di
Kopenhagen tanggal 5 Mei 1813 dan meninggal di kota yang sama pada tanggal
11 November 1855 pada usia 42 tahun. Kierkegaard adalah sosok pribadi
yang kadang agak aneh, kadang-kadang sinis dan kadang-kadang pemikir religius
yang sangat mendalam.
Ia dibesarkan di sebuah keluarga Kristen yang
didominasi oleh ayah-seorang kaya tapi melankolis-yang tersiksa oleh perasaan
bersalah. Ia mengikuti keinginan ayahnya dan masuk ke Universitas
Kopenhagen tahun 1830 untuk belajar teologi, namun sikap memberontak terhadap
pendidikan di keluarganya telah mengalihkannya dari pengajaran yang serius
terhadap rencana awal. Sikap Kierkegaard yang tak memiliki motivasi untuk
belajar teologi, digantikan dengan minat besar pada sastra dan filsafat dan
sangat antusias pada kehidupan sosial yang liberal dari teman-teman
intelektualnya.
Selama beberapa tahun, Kierkegaard hidup tanpa
tujuan yang jelas kecuali untuk menolak masa lalu. Rekonsiliasi dengan ayahnya
dan sebuah orientasi yang baru, tejadi di tahun 1833 dengan apa yang dipandang
Kierkegaard sendiri sebagai konversi religius. Ditahun 1840, ia mendapatkan
gelar dibidang teologi dari Universitas dan kemudian bertunangan dengan Regina
Oselen.
Hidup Kierkegaard tampak stabil. Tetapi
setelah setahun, ia membatalkan pertunangannya. Alasan pembatalan ini tidak
jelas, tetapi satu faktor utama adalah keyakinan Kierkegaard bahwa ia memiliki
tugas agama yang harus dipenuhi dan pernikahan tidak sesuai dengan tugas itu.
Ia memutuskan hidup tanpa menikah dan hidup demi gereja dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Ia banyak belajar filsafat, kesusastraan dan buku-buku lainnya.
Karya filsafat Jerman yang banyak dibacanya adalah filsafat Hegel.
Antara tahun 1843 hingga 1846, Kierkegaard
banyak menulis buku dan esai, tetapi buku-buku itu terdiri dari dua jenis yang
secara fundamental sangat berbeda. Di satu sisi, ada serangkaian
tulisan-tulisan dengan nama samaran (misalnya, Either/Or (1843), Fear and
Trembling (1843), Philoshohycal Fragments (1844), dan Concluding
Unscientific Postcript (1846). Kierkegard memiliki nama bagi teknik dari
tulisan-tulisannya yang memakai nama samaran: komunikasi tidaak langsung (indirect
communication).
Konsep Eksistensi Menurut
Søren Kierkegaard
Cetusan “eksistensi” yang dipondasikan oleh Kierkegaard
bertitik tolak dari gagasannya tentang manusia sebagai individu atau persona
yang bereksistensi dan konkrit. Ia melihat bahwa hal yang paling mendasar bagi
manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Menurut Kierkegaard, eksistensi
hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai individu yang konkrit, karena
hanya aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang sungguh-sungguh
ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, aku yang
konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika aku
yang konkrit ini direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka
realitas diriku yang sesungguhnya sebagai individu yang bereksistensi tercampur
dengan realitas-realitas itu. Dengan demikian, aku individu yang konkrit ini
tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan mewujudkan diriku sebagaimana
adanya karena aku tergantung kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku
kepada realitas-realitas itu membuat aku tidak bisa untuk merealisasikan diriku
sebagaimana aku kehendaki. Padahal menurut Kierkegaard, eksistensi manusia
justru terjadi dalam kebebasannya.
Menurut Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup
dalam pola-pola abstrak dan mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan
baru secara personal dan subjektif. Dengan kata lain, eksistensi manusia
merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti
bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang bagi
dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan soal komitmen total
seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebesan sebagai corak bereksistensi,
Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas yang
abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir
dan konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit
ini yang dapat mengambil keputusan atas diriku sendiri dan bukan orang lain.
Orang lain tidak berhak untuk menentukan pilihanku dalam mengambil suatu
keputusan atas apa yang aku lakukan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard,
barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi
dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusanlah yang
dapat bereksistensi karena dengan mengambil keputusan atas pilihannya sendiri,
maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya.
Dialektika Eksistensial
Søren Kierkegaard
Dialektika eksistensial yang dilontarkan oleh Kierkegaard
berangkat dari gugatannya terhadap pemahaman Hegel tentang dialektika itu
sendiri. Sebelum masuk kepada gagasan Kierkegaard tentang dialektika
eksistensial, penulis menguraikan terlebih dahulu bagaimana pandangan Hegel
tentang dialektika.
Salah satu metode yang digunakan oleh Hegel dalam
menguraikan filsafatnya adalah metode “dialektika.” Hegel menggunakan metode
dialektika bukan hanya sekadar untuk menguraikan filsafatnya, tetapi dengan
menggunakan metode ini, Hegel mau mencetuskan bahwa kenyataan atau realitas
merupakan suatu proses dialektis. Proses dialektis dalam pemikiran Hegel
merupakan produk dari realitas pengalaman hidup sehari-hari melalui dialog
dengan orang lain. Proses dialektis yang dipahami oleh Hegel dapat kita lihat
dari argumen yang dilontarkan oleh Hegel. Misalnya: apabila dalam sebuah
dialog/percakapan terdapat sebuah pendapat dan pendapat itu ditentang oleh
pendapat lain, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan. Menurut Hegel, apabila
ada oposisi semacam ini, kita berusaha untuk mendamaikan keduanya dengan sebuah
pendapat yang lebih lengkap. Tahap ini menurut Hegel disebut sebagai proses
dialektis, yaitu tahap tesis, sintesis dan antitesis.
Tesis Hegel tentang dialektika ditentang oleh Kierkegaard
dengan asumsi bahwa tegangan-tegangan kunci dalam eksistensi manusia tidak
dapat didamaikan melalui pemikiran proses rasionalisasi dan dialektis. Dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa apabila Hegel memahami Roh Mutlak sebagai proses
dialektis, maka Kierkegaard memahaminya sebagai suatu perkembangan kehidupan
eksistensial individu. Selain tidak setuju dengan dialektika Hegel, Kierkegaard
juga tidak menerima pemikiran Hegel yang cenderung berpikir baik... ataupun...
. Menururt Kierkegaard, peralihan dari satu tahap ke tahap lain tidak dilakukan
dengan pemikiran melainkan dengan keputusan kehendak atau pilihan bahkan dengan
suatu lompatan. Oleh karena itu, Kierkegaard melukiskan kehidupan eksistensial
manusia dalam tiga tahap, yaitu tahap estetis, tahap etis dan tahap religius.
Eksistensi Manusia Sebagai Individu
Menurut Kierkegaard, pertama-tama yang penting
bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan tetapi,
harus ditekankan, bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” yang
statis, melainkan suatu “menjadi”, yang mengandung di dalamnya suatu
perpindahan dari “kemungkinan” ke “kenyataan”. Apa yang semula berada sebagai
kemungkinan berubah atau bergerak menjadi suatu kenyataan. Perpindahan
atau perubahan ini adalah suatu perpindahan yang bebas, yang terjadi dalam
kebebasan dan keluar dari kebebasan yaitu karena pemilihan manusia. Jadi
eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan.
Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan, yang harus dilakukan
setiap orang bagi dirinya sendiri. menurut Kierkegaard, yang dibutuhkan dalam
hidup ini adalah suatu passion, suatu antusiasme, suatu gairah,
suatu semangat, dan keyakinan pribadi, yang dilandasi oleh kehendak bebas dan
afeksi (emosi).
Kierkegaard berpendapat, subyektivitas
merupakan kebenaran pertama, hal mana menjadi dasar bagi eksistensi pribadi.
Bahkan, menjadi subyektif adalah tugas bagi setiap manusia. Kierkegaard membela
pengalaman subyektif terhadap totalisasi dan obyektivisasi sistem Hegelian.
Kierkegaard juga menolak segala bentuk ilmu tentang manusia, jika ilmu-ilmu itu
justru mengorbankan individualitas dan keunikan manusia yang dikajinya.
Dalam kaitan agama, Kierkegaard beranggapan,
kepercayaan pada Tuhan akan selalu melibatkan pilihan individual, suatu
”loncatan iman” individual. Apa yang dilibatkan dalam kehidupan iman tidak
dapat disangkal, atau dalam hal ini divalidasi, oleh logika konvensional atau
sintesis rasional. Dengan demikian, Kierkegaard praktis menolak pandangan Hegel.
Jika filsafat agama secara tradisional berusaha mendamaikan iman dan nalar
(rasio), Kierkegaard justru mengambil langkah yang bertentangan dan menegaskan
ketidakcocokan antara keduanya. Yakni, ada diskontinuitas mutlak antara yang
manusiawi dan yang ilahiah.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka jelas
bahwa bereksietensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan hidup.
Maka barangsiapa tidak berani mengambil keputusan, ia tidak bereksistensi dalam
arti yang sebenarnya. Itulah pemikiran Kierkegaard, bahwa ada eksistensi yang
sebenarnya dan ada eksistensi yang tidak sebenarnya. Tiap eksistensi memiliki
cirinya khas. Kierkegaard membedakan adanya tiga bentuk eksistensi, yaitu:
bentuk estetis, bentuk etis dan bentuk religius.
a. Bentuk
Estetis
Tahap etis adalah tahap di mana orientasi
hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini
manusia dikuasai oleh nalusi seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan
yang hedonisme, dan biasanya bertindak menurut suasana hati (mood). Manusia
estetis hidup untuk dirinya sendiri, untuk kesenangan dan kepetingan
pribadinya.
Manusia estetis merupakan manusia yang hidup
tanpa jiwa. Ia tidak mempunyai akar dan isi di dalam jiwanya. Kemauannya adalah
yang mengikat diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Yang menjadi trend dalam
masyarakat menjadi petunjuk hidupnya, dan oleh sebab itu ia ikuti secara
seksama. Namun kesemuanya itu tidak dilandasi oleh passion apapun,
selain keinginan untuk sekadar mengetahui dan mencoba. Hidupnya tidak mengakar
dalam, karena dalam pandangannya, pusat kehidupan ada di dunia luar. Panduan
hidupnya dan moralitasnya ada pada masyarakat dan kecenderungan zamannya.
Manusia estetis adalah manusia yang pada akhir
hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan, karena semakin banyak
alternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. Jalan keluarnya hanya ada
dua: bunuh diri (atau, bisa juga lagi dalam kegilaan) atau masuk kedalam
tingkatan hidup yang lebih tinggi, yakni tingkatan etis.
b. Bentuk
Etis
Memilih hidup dalam tahap etis berarti
mengubahpola hiudp yang semula estetis menjadi etis. Ada semacap “pertobatan”,
dimana individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk
mengikatkan diri kepadanya. Prinsip kesenangan (hedonisme) dibuang jauh-jauh
dan sekarang ia menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat
universal. Sudah mulai ada passion dalam menjalani kehidupan
berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Dalam
kaitannya, dengan perkawinan, manusia etis sudah bisa menerimanya. Hidup
manusia etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan demi nilai-nilai
kemanusiaan yang jauh lebih tinggi.
Jiwa individu etis sudah mulai terbentuk dan
akar kepribadiannya cukup kuat dan tangguh. Manusia etis akan sanggup menolak
tirani atau kekuasaan dari luar, baik yang bersifat represif maupun
non-represif, sejauh tirani atau kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang
diyakininya. Setiap kuasa yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan akan
ditentangnya dengan keras.
c. Bentuk
Religius
Keotentikan hidup manusia sebagai subjek atau
“aku” baru akan tercapai kalau individu, dengan “mata tertutup”, lompat dan
meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Seandainya kita hendak melompat dari
tahap estetis ke tahap etis, maka secara rasional kita bisa mempertimbangkan
segala konsekuensi yang mungkin akan kita hadapi, sedangkan lompatan daya tahap
etis ke tahap religius nyaris tanpa pertimbangan-pertimbangan rasional. Tidak
dibutuhkan alasan atau perimbangan rasional dan ilmiah disini. Yang diperlukan
hanyalah keyakinan subyektif yang berdasarkan iman. Nilai-nilai religius
bersifat murni subjektif, sehingga seringkali sulit diteruma akal sehat.
Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam
subjektivitas transenden, tanpa rasionalisasi dan tanpa ikatan pada sesuatu
yang bersifat duniawi ataumundane. Kessulitan atau hambatan yang
pertama-tama dijumpai oleh individu saat memutuskan untuk lebur dalam kuasa
Tuhan adalah paradoksalitas yang terdapat di dalam Tuhan sendiri. Tuhan (dan
perintah-perintahNya) adalah sesuatu yang paradoks. Persoalan tentang ada atau
tidak adanya Tuhan, dan persoalan tentang sifat-sifat baik Tuhan merupakan
salah satu contoh saja dari banyak paradoks Tuhan. Tidak mungkin ada penjelasan
rasional unutk menjelaskan paradoks itu, karena paradoks Tuhan bukan sesuatu
yang bisa dipikirkan secara rasional. Hanya dengan keyakinan subjektif yang
berdasarkan pada iman saja individu bisa menerima paradoks itu.
Tantangan berikutnya yang dirasakan individu
saat akan memilih hidup di jalan Tuhan adalah kecemasan yang mencekam dan
menggetarkan (Angst). Hidup manusia akan berakhir dalam kebahagiaan
abadi, kalau ia sudah berada dalam tahap eksistensi yang religius.
Sebagai
Bapak Eksistensialisme, pandangan filosofis Kierkegaard tentunya banyak
membahas tentang manusia, khususnya eksistensinya. Beberapa point yang penting
dalam filsafatnya:
·
Individu tidak ditempatkan di hadapan Ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan.
·
Dia menganggap Hegelianisme sebagai ancaman besar untuk individu, untuk manusia
selaku persona.
·
Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana
kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran obyektif –
termasuk agama – harus mendarah daging dalam si individu.
·
Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat dengan
jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat. Yang terutama
kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar untuk aku, suatu
ide yang bisa mengilhami kehidupan dan kematianku. Apakah gunanya menemukan
suatu kebenaran yang disebut obyektif dan mempelajari semua sistem filosofis .
Sejauh mana ada baiknya bagiku dapat menjelaskan arti agama Kristen bila agama
itu tidak mempunyai arti mendalam untuk aku sendiri dan kehidupanku .”
Kierkegaard mencari
kebenaran
yang konkret serta eksistensial, suatu pengetahuan yang dihayati (connaissance
vécue), a real knowledge.
·
Dia membedakan manusia dalam stadium estetis, etis dan religius.
·
Pada stadium estetis manusia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar
kesan-kesan indrawi, mengikuti prinsip kesenangannya, lebih dijadikan hidup daripada
ia hidup sendiri. Manusia menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal, tetapi ia
tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat. Ia bisa
menjadi seorang hedonis yang sempurna, seorang “perayu” seperti Don Juan, atau
seorang yang “sok tahu” dan seorang Sofis (mis. Mendalami filsafat dan
teologi).
·
Kebosanan, kekurangsenangan dan kecemasan memimpin seseorang ke arah stadium
etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita, akan kebebasan,
tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri kita sendiri,
menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh menjadi persona. Kita
semakin mengikat diri, dari penonton menjadi pelaku, kita melibatkan diri.
Dalam stadium ini juga, manusia menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat;
ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena
ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan
memberontak terhadap seluruh tatanan etis.
·
Manusia bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil mendambakan topangan
serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu manusia yang
terkoyak-koyak (bandingkan Mat 5:3). Bila kita menangkap tangan ini dan membuka
diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius. Sebagai orang Kristen –
ia berani menerjunkan diri ke dalam petualangan untuk – dengan ketidakpastian
intelektual yang besar – mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti
jejak Kristus. Iman kepercayan Kristiani itu bersifat paradoks, sebagaimana
Kristus merupakan Paradoks besar yang mempersatukan keabadian serta
keduniawian, keilahian serta kemanusiawian. Hidup sebagai Kristen adalah cara
hidup tertinggi yang merupakan kemungkinan ultim dan makna keberadaan manusia.
Pemikirannya :
1. Tentang agama yang dihayati
Menurut
Soren Kierkegaard filsafat tidak merupakan suatu sistematis,tetapi suatu
pengekspresian eksistensi individual. Pada masa hidupnya,ajaran hegel sangat
terkenal dan populer pada saat itu,termasuk juga pada soren kierkegaard,ia
banyak mempelajari tentang ajaran yang diajarkan Hegel.Bahkan ia juga
mempelajari dampak-dampak bagi orang yang mempelajari pemikiran Hegel.
Dari
situ pula ia mengkritik pemikiran Hegel tentang manusia terhadap agamanya,
menurut Hegel ada dorongan mental dalam kehidupan manusia yang dapat
mengantarkanya dari seni menuju agama,lalu sampai pada filsafat.seni membuat
tuhan dan kebenaran muncul dalam imajinai,sedangkan agama lebih tinggi dari
seni karena agama menggambarkan tuhan dan kebenaran dalam lukisannya yang lebih
sempurna,namu menurut Hegel agama hanya mengandung intelektualitas cerita,kisah
atau hikayat.karena itu filsafat menyempurnakan lukisan pengetahuan yang telah
dilukiskan agama.karena didlam filsafat ada ide ide dan konsep konsep yang
jelas dan terang,konsekuensinya,menurut hegel “iman” hanya memuaskan kepada
orang yang memiliki kecerdadsan sedang,sementara orang yang memiliki kecerdasan
tinggi akan terpuaskan oleh filsafat.
Ajaran
seperti itulah yang dibantah oleh Soren Aabye Kierkegaard ,menurutnya ajaran
hegel akan merusak ajaran agama dan dapat merusak pemikiran yang benar tentanng
agama.menurutnya didalam agama diajarkan bahwa “iman” diatas
segala-galanya,iman melampaui akal,apa yang tidak dapat dijangkau oleh akal
iman dapat memasukinya,terlebih lagi didalam ajaran agama ada ajaran agama yang
tidak mungkin dijangkau oleh akal sperti tentang tuhan,malaikat,surga dan
neraka.hanya keimananlah yang dapat menjangkau nya lewat firman-firman tuhan
didalam kitab sucinya.
Apabila
seseorang mengikuti ajaran Hegel dalam memahami agama,maka agama hanya sebagai
objek pemikiran. Agama hanya sebagai perilaku dan sebuah ritual yang berkembang
dimasyarakat yang dapat dilihat dan jauh dari nilai-nilai untuk menghayati dan
memperdalam ajaran terhadap agama.Agama hanya sebagai suatu adat bagi
masyarakat yang mereka jalani sesuai kebiasaan turun menurun dari nenek
moyangnya dan agama pun tidak akan berdampak bagi orang yang memeluknya karena ia
tidak memperdalam ajaran agamanya.
Sehubungan
dengan itu Kierkegaard menginginkan agama difahami secara subjektif,ia ingin
agama itu dihayati bukan hanya dipelajari saja,dan supaya ada dampak bagi
pemeluknya agar bisa diaplikasikan dikehidupan sehari-hari,sehingga agama
benar-benar melebur dalam dirinya.
2. Tentang Peran Individual
Kierkegaard
juga mengkritik kepada Hegel,yang mana Hegel mengajarkan hilangnya peran
individu dalam kehidupan karena adanya Roh Absolut yang menguasai seluruh
manusia.Hegel memakanai bahwa yang benar-benar nyata itu adalah yang
abstrak,yaitu Roh Absolut yang berada didalam diri manusia,sementara manusia
manusia kongkret hanyalah individu individu yang tanpa sadar diri bahwa dirinya
digerakan oleh Roh Absolut,dengan kata lain Hegel menyebutkan bahwa manusia
kongkret adalah sebagai alat saja bagi Roh Absolut.
Dari
ajaran tersebutlah Hegel juga berpandangan bahwa nilai akan semakin tinggi
apabila dari kesepakatn kolektif.Pendapat “aku” akan semakin benar, jika diakui
oleh “kita”.Maka,kebenaran dalam Hegel berada dalam kerumunan,bukan pada
individu.Hal ini akan berdampak pada anggapan bahwa yang paling benar adalah
“bangsa”, “ras”, “zaman”, “sejarah”, “roh dunia”,dan bukan “aku” atau
“pikiranku sendiri”.
Dengan
kata lain dari ajaran Hegel tersebut dapat disimpulkan bahwa yang benar itu
adalah yang abstrak bukan yang kongkret.”bangsa’ “roh dunia”,dan “kita” adalah
konsep konsep abstrak yang meniadakn “individu-individuu”.Nah dari sinilah
Kierkegaard mengkritik terhadap Hegal,menurutnya peran individu-individu dalam
sebuah kelompok/kerumunan sangatlah penting,Kierkegaard tidang ingin
menghilangkan peran individu-individu kongkret ditengah tengah manusia abstrak.
Menurut
Kierkegaard manusia mempunyai kemampuan
dalam mengambil sebuah keputusan secara pribadi dan berkomitmen untuk
mempertahankannya. Orang lain tidak merubah sebuah keputusan pribadi yang sudah
diambilnya, Orang lain boleh saja protes atau tidak setuju dengan keputusannya
tapi keputusan tetap milik pribadinya,orang lain tidak bisa memaksakan
kehendaknya,jadi keputusan yang diambil oleh individu itu merdeka atau bebas.
Bila
seperti itu,maka dapat disimpulkan bahwa seorang Kierkegaard sangat menghargai
peran individu karena menurutnya individu memiliki maratabat yang tinggi,
berbeda sengan Hegal yang sangat menghargai peran kolektif atau kelompok,bahkan
ia menganggap bahwa peran individu tidak mempunyai martabat sama sekali karena
hanya sebagai alat atau tempat bagi Roh Absolut.
Menurut
Kierkegaard, jika konsep Hegel itu benar, maka individu-individu akan lari dari
tanggung jawab mereka atas tindakan yang telah mereka lakukan, Sebab bisa saja
mereka menyerahkan tanggung jawab kepada kelompok mereka. Padahal mereka
melakukannya atas dasar pribadi masing-masing, meskipun seolah olah keputusan
kelompok.
Karena
hal itulah, Kierkegaard menyimpulkan bahwa yang benar-benar bereksistensi
adalah individu, bukan kerumunan. Bereksistensi adalah bertindak. Tidak ada
yang dapat mengganti eksistensi aku sebagai aku dan atas nama aku. Aku
bereksistensi karena aku memiliki kemampuan untuk bertindak bukan digerakan
oleh orang diluar diriku.
Sumber
Referensi :
Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia.
Memahami Manusia Melalui Filsafat.Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
Komentar
Posting Komentar