Kehendak Berkuasa Menurut Pemikiran Filsafat Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche
“Dunia
ini adalah kehendak untuk berkuasa – dan tidak ada yang lainnya! Kaulah sendiri
yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini – dan tidak ada lagi yang lainnya!”
Sosok
Nietzsche dikenal dengan pemikiran yang sangat unik dalam menanggapi fenomena
kemanusiaan yang terjadi pada era abad ke-18. Dalam beberapa sumber tertentu
sosok Nietzsche dikenal dengan pengaruh radikalnya. Oleh beberapa sebab,
karya-karyanya bersifat ambiguitas dalam menanggapi fenomena
kemanusiaan yang terjadi. Dari buah karyanya, Nietzsche menjadi orang yang
berpengaruh pada pemikiran post-moderenisme. Dibalik itu, seperti yang tampak
dalam sifat ego Nietzsche, filsafatnya juga salah satu pendobrak awal pemikiran
eksistensi yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh kontemporer.
Gaya
filsafatnya amat khas, yakni mengkritik segala sesuatu dan menyampaikan gagasan
filosofis dengan gaya yang tidak lazim. Ia hadir sebagai semacam penentang
kemapanan, baik dalam gaya bahasa, sejarah, kebudayaan, bahkan nantinya
pada kemapanan hidupnya. Dalam bahasa misalnya tidak memakai gaya filsuf
yang pernah mengenyam persekolahan, ia memakai bahasa sehari-hari bak seorang
pakar untuk mengungkapkan apa pun yang ia katakan. Ia berwatak
informal, bergairah, aforistis.
Nietzsche
mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Baginya, kalau hidup
adalah perjuangan untuk bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk
bereksistensi hiduplah yang berhak untuk terus melangsungkan kehidupannya, maka
kekuatan adalah kebajikan yang utama dan kelemahan adalah keburukan yang
memalukan. Yang baik adalah yang mampu melangsungkan kehidupan, yang berjaya,
dan menang; yang buruk adalah yang tidak bisa bertahan, yang terpuruk, dan kalah.
MANUSIA DAN KEHENDAK BERKUASA
Konsep
kehendak untuk berkuasa Nietzsche adalah salah satu konsep yang bisa
dikategorikan sebagai pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang
melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural
instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche
dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional,
seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan
sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan
cara-cara baru.
Ada
tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni :
1.
Penerimaan total pada kontradiksi hidup
2.
Proses transendensi insting-insting alamiah manusia
3.
Cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism)
Pemikiran
tentang kehendak juga memiliki pengertian dasar tentang kehendak untuk
berkuasa, berdasarkan fragmennya antara lain :
-
Kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas.
-
Sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of
reality)
-
Sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such)
Ketiga
makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai berikut "hakekat
terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya
yang paling gelap" Nietzsche melihat realitas satu unsur terdalam (fundamental
aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya
sebagai kehendak untuk berkuasa. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi
dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Seluruh
realitas dan segala yang ada di dalamnya adalah ledakan sekaligus bentuk lain
dari kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang
mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil
dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini terjadi tanpa ada satu
sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak
realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.
Dunia adalah sesuatu yang hampa, dan tak memiliki pencipta, namun bisa hadir
dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak
ada pengetahuan obyektif dan untuk memperoleh pengetahuan hanya memerlukan
subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua
hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri.
Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat
hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini,
manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di
dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong
manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus
menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak
untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia
adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena
manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna,
dan menjadikannya “manusiawi” (human).
Manusia
harus belajar melihat alam tidak hanya dari kaca matanya sendiri, dari
kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka
kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu
sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia
diminta untuk menerima dan menikmatinya sepenuh hati. Manusia tidak dipandang
sebagai mahluk rasional, melainkan sebagai mahluk yang hidup dengan rasa dan
sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya. Sensasi itu mendorong
manusia untuk mencipta dunia (world-creating activity). Pemahaman Nietzsche
tentang ini didapatkan dari pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari
sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan.
Penciptaan hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa. Pemikiran
Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang
sistematis (systematic worldview). Cara penjelasan Nietzche berupa mitologis
(mythological explanation) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam
memahami dunia. Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran
Schopenhauer, bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia
(world as will and representation). Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak
buta, bersikap pesimis, dan memilih untuk melarikan diri darinya, namun
Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, bersikap optimis, dan
memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya, dua sikap
tersebut dapat digunakan untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam
memandang kehidupan. Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang
memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri dari
dunia seperti sikap yang ditunjukkan Schopenhauer. Ada pula orang yang
menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan absurditas kehidupan
itu sendiri seperti yang disarankan oleh Nietzsche. Nietzsche ingin membongkar
kemunafikan manusia modern yang merindukan dan menghasrati kekuasaan, namun
berpura-pura menolaknya karena alasan-alasan moral. Nietzsche mengajak untuk
menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk kekuasaan
yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia. Dengan
penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa
didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.
Sumber Referensi :
1. https://chanwooblog.wordpress.com/2016/05/08/friedrich-nietzsche-kehendak-berkuasa/
2. http://ibnu8sulaiman.blogspot.co.id/2016/05/kehendak-berkuasa-nietzsche.html
Komentar
Posting Komentar